Sunday, December 21, 2008

TINTA BARA SATRIA

pengabdian ini
melakarkan wajah satria derita
kalbunya layu disula rindu
jiwanya parah dilapah duka
hatinya hancur dijerok durja
sendunya biru dirintih sedih
berjuta kelaran sembilu bisa
gagal melulurkan seluruh angkara
yang menggugat nusa tercinta

pertapaan ini
adalah citra rawan penuh nestapa
bahangnya meredang jutaan tekad
berserawangan di awang-awang
menanti tabohan gendang perang
yang lantang garang dan berang
untuk membinasakan puaka buana
yang menodai makhota suci
melalui perkosaan ibu pertiwi
di hujung mimpi tanpa bertepi

kebangkitan ini
adalah kesiagaan anak-anak pribumi
yang bingkas berdiri menjulang janji
menghunuskan pena bertinta bara
memantera madah seloka derhaka
sopan santunnya mengancam jagat
lemah lembutnya menggegar maya
dengan ungkapan rima kata murka
kita binasakan seluruh puaka buana
di jantung kota
kita musnahkan segala hama durjana
di pinggir denai
bersama syahdu laungan takbir
bersama silir bayu gemilir
kita pukau kilat panahan petir
sehingga bahaya lenyap tersingkir

di medan juang ini
kalbu kita usah layu disula rindu
jiwa kita jangan parah dilapah duka
hati kita usah hancur dijerok durja
sendu kita jangan biru dirintih sedih
jutaan bilah sembilu bisa
adalah senjata kita paling perkasa
untuk melulurkan seluruh bicara
yang mentalqinkan perjuangan bangsa
yang mestinya segak perkasa
sepanjang masa sepanjang usia

Ruhanie Ahmad
Selangor
20 Disember 2008

1 comment:

Mika Angel-0 said...

Sdr Ruhanie,

A wonderful emotive extract I would have enjoyed reading the puisi as an attempt to comprehend a malay tongue if not for the incomprehensible 'kalbunya layu disula rindu' expound a bass note resounding to my mind akin to the penetrative invasion deep of the rear end by a seductive pole of buluh perindu.

It has to be the dreadfully insensitive mind to the refine delicacies of sastera Malay.

Bugger the rindu bug, I say!